Pengaruh Bantuan Orang tua dan Guru
Bagaimana dahsyatnya pengaruh bantuan orang tua dan guru terhadap proses belajar anak sehingga rasa percaya diri, kreativitas, keberanian, dan hasil nilai akan meningkat? Berikut ini kita simak wawancara saya dengan salah seorang murid saya.
Tanya jawab Bu Rini dengan Budi
Bu Rini : “ Mengapa nilai matematika Budi sekarang bagus?”
Budi : “Les di Bu Rini.”
Bu Rini : “Hmm…., maksud Bu Rini selain jawaban itu.”
Budi : “Ibu memacu saya untuk belajar sampai paham”
Bu Rini : “Maksud Budi, Bu Rini pernah berkata apa kepada Budi?”
Budi: : “Yang Bu Rini lakukan adalah:
· Membantu saya memanage waktu
· Memotivasi saya
· Memberi pengertian kepada saya bahwa mengerjakan PR bukanlah belajar
· Kata bu Rini, belajar adalah membaca dan latihan soal secara mandiri tanpa disuruh orang tua maupun guru
· Kerjakan matematika secara iseng (iseng-iseng berhadiah), hadiahnya jadi anak pintar.”
Bu Rini : “Loh, kok iseng. Iseng bagaimana?”
Budi : “ Misalnya pada saat belajar biologi, IPS, atau pelajaran yang lain, kita mengantuk. Jika mengantuk, kerjakan soal matematika sampai sepeluh nomor. Setelah tidak mengantuk, belajar biologi lagi.”
Bu Rini : “Selain itu?”
Budi : “Pada saat kita bengong, tidak tahu akan mengerjakan apa, saya kemudian mengerjakan sepuluh soal matematika. Pada saat mengerjakan matematika ini, saya jadi ingat atau mendapat ide untuk melakukan suatu hal.”
Bu Rini : “Contohnya?”
Budi : “Jadi ingat bahwa ada materi kimia yang harus saya pelajari karena waktu diterangkan guru di sekolah saya belum mengerti, dan lain-lain.”
Bu Rini : “Berarti, kamu tidak punya waktu khusus untuk belajar matematika?
Budi : “Tidak ada waktu khusus. Justru karena iseng itu, saya hampir tiap hari mengerjakan matematika. Jika dijumlah, jumlah jamnya jadi banyak.”
Bu Rini : “Bukannya kamu banyak mengalami kesulitan pada bidang pelajaran matematika? Bagaimana kamu bisa mengerjakan banyak soal?
Budi : “Mula-mula saya mengerjakan soal matematika yang mudah dan bisa. Bu Rini juga selalu mengatakan, “Kerjakan matematika, pilih soalnya, yang penting kamu bahagia.” Setelah soal yang mudah saya kerjakan, contoh soal yang susah dari Bu Rini saya pelajari lagi. Kemudian saya mencoba mengerjakan soal yang lebih susah, alhamdulillah bisa.”
Bu Rini : “Jarak antara rumah dan sekolah kamu cukup jauh, ditempuh dalam waktu setengah sampai satu jam. Bagaimana kamu memanfaatkan waktu perjalananmu?”
Budi : “Untuk istirahat/tidur.”
Bu Rini : “Selain hal-hal yang telah kamu sebutkan tadi, apa yang menyebabkan nilai matematika kamu bagus?”
Budi : “Sama Bu Rini disuruh mengerjakan PR.”
Bu Rini : “Mengapa kamu mau mengerjakan PR dari Bu Rini?”
Budi : “Karena sudah menjadi peraturan, jika mau les sama Bu Rini harus mau mengerjakan PR dan menuruti nasehat Bu Rini.”
Bu Rini : “Kamu kan bisa saja melanggar peraturan yang Bu Rini buat.”
Budi : “Takut dimarahi Bu Rini.”
Bu Rini : “Apakah Bu Rini pernah marah ke kamu jika tidak mengerjakan PR?”
Budi : “Iya.”
Bu Rini : “Bu Rini bicara apa?”
Budi : “Tidak usah les disini.”
Bu Rini : “Memang syarat agar anak tetap bisa les disini harus mengerjakan PR…..terus bagaimana perasaan kamu, ada peraturan seperti ini.”
Budi : “Mula-mula takut dan sakit hati ada peraturan itu. Tetapi lama-kelamaan mengerjakan PR jadi kebiasaan dan saya jadi suka mengerjakan soal matematika yang lain. Rasanya enak gitu, mengerjakan matematika.”
Bu Rini : “Selain itu, apa yang berkesan dalam diri kamu?”
Budi : “Bu Rini selalu bilang,
· Jangan mau mencatat kalau belum mengerti apa yang akan dicatat
· Mencatat tidak sama dengan mencontek
· Pada saat menghadapi soal matematika, yang penting tangan bergerak terlebih dahulu, tuliskan apa yang diketahui. Ide memecahkan masalah akan keluar pada saat kita sudah menulis
· Matematika adalah pekerjaan tangan. Otak akan terbantu pada saat kita mau menulis.”
Begitulah acara tanya jawab saya dengan salah seorang murid yang bernama Budi. Budi adalah murid kelas satu salah satu SMA elite di Jakarta. Orang tua Budi menemui saya setelah menerima nilai raport anaknya merah untuk pelajaran matematika, fisika, dan kimia.
Menetapkan Aturan
Pada saat pertama kali bertemu dengan saya, Budi adalah sosok anak yang temperamental terutama kepada orang tuanya. Budi selalu menunjukkan muka marah setiap saat orang tua membicarakan tentang apapun. Dia selalu curiga ke orang tua, bahkan ketika saya dan orang tua Budi membicarakan kondisi umum sekolah dan anak-anak.
Maka, ketika saya mulai mengajar Budi, saya membuat aturan tertulis sbb:
Syarat agar Budi dapat les di Bu Rini:
- Tidak melawan orang tua
- Bersikap baik ke orang tua
- Rajin belajar tanpa disuruh orang tua
- Jumlah jam belajar minimal 3 jam perhari
- Dalam perjalanan pulang di mobil gunakan untuk istirahat melepas lelah. (Anggap sebagai waktu istirahat)
- Sampai rumah, mandi-makan-sholat-kerjakan PR-sholat maghrib.
- Setelah sholat maghrib- belajar lagi (Belajar dari jam 7 sampai jam 10 malam)
- Mengerjakan PR sekolah, harus setelah pulang sekolah langsung.
- Jam 7 – 10 malam adalah jam belajar, bukan untuk mengerjakan PR/ Tugas sekolah. Karena tugas/PR sekolah sudah harus dikerjakan sore hari sepulang sekolah.
- Jika Budi tidak bisa memenuhi point-point di atas, maka harap dipikirkan oleh Budi, bahwa:
- Nilai ulangan yang didapat Budi, ditentukan oleh ketekunan belajar Budi dan bukan karena les di Bu Rini
- Les di Bu Rini akan berhasil jika Budi disiplin menjalankan point-point di atas.
- Jika Budi keberatan atau menolak atau tidak disiplin, mohon untuk mencari tempat les lain yang bias mendukung Budi untuk mau rajin belajar.
- Hari Sabtu dan Minggu hari bebas belajar bagi Budi. Budi boleh melakukan hal/ hobi apapun yang disukai.
Menjalankan Aturan
Saya meminta pengertian kepada orang tua, agar membebaskan Budi mengatur waktunya sendiri. Saya meminta agar orang tua Budi bertindak sebagai pemerhati kegiatan Budi, apakah menjalankan aturan yang saya buat atau tidak. Orang tua Budi tidak perlu sering menegur Budi, hanya mengamati saja. Jika Budi belum bisa belajar dengan disiplin, saya minta orang tua Budi melaporkan kepada saya. Sebenarnya saya merasa tidak tega menerapkan peraturan ini kepada Budi. Tetapi saya mau menjadikan Budi menjadi anak yang rajin belajar. Menghadapi anak malas belajar, saya membuat pendekatan “agak memaksa murid”. Pada awalnya murid sangat berkeberatan dengan jadwal dan aturan yang saya buat. Tetapi lambat laun mereka merasa terbiasa, seperti pepatah bilang, “alah bisa karena terbiasa.”
Saya menerapkan aturan ini dengan luwes dan saya meminta orang tua juga bersifat luwes terhadap anak. Dalam pelaksanaan jadwal di rumah, saya hanya meminta orang tua mengamati perubahan proses belajar yang terjadi pada anak. Orang tua tidak boleh memaksa perubahan anak secara drastis. Jika biasanya anak hanya mampu belajar sepuluh menit, maka biarkan jika hari ini anak hanya mampu belajar tiga puluh menit. Kita hargai niat baik anak untuk berubah. Tujuan utama dari belajar adalah proses belajar, bukan hasil akhir. Hasil akhir yang baik hanyalah salah satu bagian dari efek proses belajar yang baik.
Saya selalu mengatakan kepada anak, jika biasanya jam 20.00 malam anak sudah mengantuk, saya meminta kepada anak tersebut untuk menahan rasa kantuknya sampai jam 20.30 malam. Biasanya anak akan mengatakan, “Tidak kuat Ibu, jam delapan malam saya sudah mengantuk sekali.” “Ya sudah, Bu Rini akan memberikan soal ini agar kamu bisa menahan rasa kantuk. Kerjakan sepuluh soal matematika yang kamu sukai dan kamu anggap mudah. Bu Rini yakin, setelah mengerjakan sepuluh soal itu kamu tidak akan mengantuk lagi karena tangan mau bergerak dan otak terpaksa berpikir. Setelah itu, kamu lanjutkan belajar materi sesuai jadual pelajaran sekolah besok pagi.”
Anak Akan Mengerjakan Semua Soal yang Diberikan
Biasanya saya memberi PR untuk menahan rasa kantuk sebanyak empat puluh soal dengan tingkat kesulitan yang disesuaikan dengan kemampuan anak. Biasanya anak akan mengerjakan soal latihan/PR tersebut dengan senang hati. Empat puluh soal PR itu hanya sebagai awal untuk memberi semangat dan memberi pemahaman bahwa matematika itu mengasyikkan. Saya memberi kebebasan kepada anak untuk memilih soal yang akan anak kerjakan. Anak diperbolehkan mengerjakan tugas yang saya berikan atau mengerjakan soal dari buku yang lain. Kita bebaskan anak untuk memilih jenis soal sesuai kemampuan. Yang terjadi kemudian adalah anak akan mengerjakan semua soal yang dimiliki anak (soal yang saya berikan, soal dari buku paket sekolah, dan soal-soal lain yang tersedia).
Apakah Anak Mempunyai Kesempatan untuk Bermain?
Mungkin anda akan bertanya, kapan Budi diberi kesempatan/ waktu untuk bermain? Bagi saya, salah satu tujuan bersekolah adalah bermain disamping untuk menuntut ilmu. Bersekolah adalah kesempatan berharga bagi anak untuk bersosialisasi, bertemu dengan teman sebaya. Pada saat bersoasialisasi ini bukankah sangat lekat dengan permainan. Bukankah bermain adalah salah satu bentuk anak dalam belajar? Jadwal di atas saya susun, karena nilai Budi yang sangat rendah pada mata pelajaran matematika, fisika, dan kimia. Tiga mata pelajaran itu membutuhkan tingkat konsentrasi dan keseriusan yang tinggi. Anak akan menguasai materi matematika jika anak memahami konsep dan rajin latihan secara mandiri. Hal itu yang harus dilakukan Budi, mengingat nilai Budi yang sangat rendah dan Budi tetap berkeinginan memilih jurusan IPA pada saat naik ke kelas 2 SMA.
Dua minggu lamanya orang tua Budi tidak memberi kabar kepada saya. Selama 2 minggu itu, terjadi proses diskusi antara orang tua dan Budi, apakah Budi mampu menjalankan peraturan yang saya buat.
Membuat Kesepakatan dengan Anak
Akhirnya tibalah saatnya, Budi datang bersama Ibunya untuk menyatakan kesanggupannya bergabung belajar di bawah bimbingan saya. Saya tidak begitu saja menerima Budi untuk dapat bergabung di tempat belajar saya. Saya tanya sekali lagi kepada Budi dan orang tuanya.
Bu Rini : “Budi, Bu Rini belum mau menerima kamu untuk belajar bersama Bu Rini sebelum mengetahui kesanggupanmu untuk mau berubah.”
Budi : …………………(masih diam).
Mama Budi : “Bagaimana Budi, mau berubah dan bisa menjalankan peraturan Bu Rini atau tidak? Mama tidak memaksa. Kamu mau masuk jurusan apapun dan nilai berapapun, tidak masalah buat mama. Yang mama inginkan adalah Budi berjuang dulu. Hasilnya kita serahkan pada Yang Di atas.”
Bu Rini : “Budi, kalau kamu tidak mau menjawab pertanyaan Bu Rini, berarti kamu masih keberatan untuk berubah. Kalau kamu keberatan, Bu Rini tidak akan mau mengajar kamu.”
Budi : “Iya, Bu. Saya mau berubah.”
Bu Rini : “Budi mau jadi anak rajin? Budi sanggup memenuhi jadwal yang Bu Rini berikan?”
Budi : ……………………..(diam)
Bu Rini : “Budi, katanya kamu pengin masuk IPA? Mengapa kamu pengin masuk IPA?”
Budi : “Karena saya kurang suka pelajaran IPS dan kalau masuk IPA, mau masuk jurusan apapun pada saat kuliah lebih mudah.”
Bu Rini : “Nilai yang kamu raih pada semester satu tidak memuaskan, bisa dikatakan jelek. Perlu perjuangan lebih dari diri kamu agar dapat masuk IPA. Perjuangan Budi memang berat untuk masuk IPA. Tetapi kalau kamu mau, Bu Rini yakin kamu pasti bisa.”
Budi : “Tapi Bu, saya ranking 5 dari bawah di kelas.”
Bu Rini : “Tidak apa-apa Budi. Kamu memperoleh nilai jelek bukan karena otak kamu bodoh. Kamu itu anak cerdas, yang bodoh adalah sikap belajar kamu. Kamu mesti berubah.”
Budi : “Iya, Bu. Saya mau mengikuti saran dari Bu Rini.”
Hindarkan Nafsu Mengajar
Sebulan pertama mengajar Budi adalah perjuangan berat bagi saya.Saya harus
menahan emosi dan rasa jengkel kepada murid yang bermasalah. Bagian menahan emosi ini adalah bagian yang terberat ketika kita menghadapi murid yang bermasalah. Ketika mengajar, kita tidak boleh mengajar dengan emosi dan nafsu. Hindarkan nafsu mengajar untuk membuat anak harus paham dengan apa yang kita ajarkan. Nafsu mengajar akan membuat kelelahan yang berlebihan. Kita akan menuntut anak harus bisa memahami apa yang kita ajarkan. Saat mengajar, mengalir saja tanpa disertai beban yang mengharuskan semua anak harus paham.
Setelah Satu Bulan Anak Menjalankan Kesepakatan
Setelah satu bulan belajar di tempat saya, Ibu Budi melaporkan bahwa Budi sekarang bisa belajar sampai jam 22.30 malam. Saya menanggapinya, “Ibu mengatakan hal itu untuk membela Budi ya?”. Adik Budi menguatkan, “Benar kok Bu, tadi malam saja Abang belajar sampai jam 23.30 malam?
“Oh, ya?”, saya lantas mengusap kepala Budi. “Nah, seperti itu Budi. Semoga kamu jadi anak pintar dan beruntung ya…”. “Terima kasih, Bu.”, jawab Budi bangga dan tersipu malu.
Satu minggu kemudian, Budi melaporkan hasil ulangan harian yang diperoleh:
- Nilai ulangan matematika = 9,3 (nyaris 100 karena tidak teliti)
- Nilai ulangan fisika = 7,8 (tertinggi di kelas)
- Nilai ulangan kimia = 85 (ranking 5 besar di kelas)
Saya sangat takjub dengan nilai yang diperoleh Budi. “Hebat Budi, teruskan usaha kamu! Tidak apa-apa kamu berjuang keras, yang penting hasilnya bagus.”, begitu komentar saya terhadap anak yang meraih nilai tinggi.
Masukkan Anak Pada Kelompok Anak Pandai
Pada tahap-tahap awal, walaupun nilai Budi sudah mulai membaik, Budi masih belum diperhitungkan oleh kelompok anak-anak pandai. Kita tidak bisa memaksakan suatu kelompok anak pandai yang saling bersahabat untuk mengajak anak seperti Budi agar bergabung belajar dengan mereka. Walaupun Budi saya gabungkan untuk belajar bersama kelompok tersebut, Budi masih menyendiri karena Budi juga belum mampu menyamakan daya pikir menghadapi soal dengan tingkat kesulitan yang lebih tinggi dari kemampuannya.
Tujuan saya memasukkan Budi ke dalam kelompok anak pandai adalah agar Budi melihat bagaimana anak pandai belajar dan berusaha memecahkan persoalan. Mereka saya jadikan contoh buat Budi.
Berikan Motivasi
Saya selalu berkata kepada Budi, “Budi, mereka menjadi pandai seperti sekarang ini membutuhkan proses dan perjuangan. Mereka belajar sama Bu Rini dari satu setengah tahun yang lalu. Bisa kamu bayangkan, berapa lama mereka berlatih untuk berpikir karena belajar bersama Bu Rini adalah belajar berpikir. Bukan belajar mencatat. Bu Rini yakin, mereka juga rajin belajar di rumah. Walaupun mereka tidak mengakuinya, tetapi Bu Rini tahu kalau mereka anak yang rajin. Rajin adalah pangkal pandai Budi. Maka kamu yang rajin ya?”
Kita harus selalu memberi motivasi kepada anak yang berkeinginan memperbaiki pola belajarnya. Saya selalu menghargai hasil nilai yang diperoleh anak, walaupun hasil nilai masih jauh dibawah target terendah. Kita hargai usaha anak sehingga anak merasa dihargai dan bertambah semangat dalam belajar.
Ada rasa minder terlihat dari raut muka Budi, mengingat dia belajar menyendiri dan melihat teman sekelompoknya yang pandai membahas dan mendiskusikan cara penyelesain soal. Saya katakan kepada Budi, “Tidak apa-apa Budi kamu belajar sendiri dan lambat. Yang penting kamu paham dengan apa yang kamu pelajari sehingga nilai kamu juga akan baik.” Budi mengangguk sambil meneruskan belajarnya dengan tekun.
Kita juga bisa memberi motivasi kepada anak dengan cara sesekali melonggarkan aturan yang kita buat. Misalnya aturan yang kita buat anak belajar dari jam tujuh sampai sembilan malam. Karena anak tersebut pada siang hari sudah belajar dengan kemauan sendiri, maka kita bisa mengatakan, “Sekarang kamu boleh bermain karena tadi sudah belajar dengan baik.” Anak itu pasti akan merasa gembira dan menjadi contoh anak yang lain untuk berbuat hal yang serupa. Motivasi seperti ini akan menambah semangat belajar anak.
Motivasi juga bisa diberikan dengan cara memberi penghargaan atas usaha anak. Penghargaan tidak harus berbentuk barang. Pujian, senyuman, ucapan terima kasih, tatapan takjub, acungan jempol, juga bisa dijadikan sebagai penghargaan.
Peran Orang Tua
Peran aktif orang tua juga ikut menentukan keberhasilan anaknya. Kebutuhan dasar anak untuk merasa dekat dengan orang tua, rasa aman, dan stimulasi fisik dan mental yang positif sangat diperlukan untuk proses perkembangan anak. Ketiga hal itu harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum kita meminta anak untuk menjalankan aturan yang telah disepakati bersama. Budi bersikap memusuhi ibunya karena Budi tidak merasa khawatir ibunya senantiasa bercerita kelemahan-kelemahan Budi kepada orang lain. Ketakutan ini menimbulkan rasa curiga yang berlebihan. Rasa curiga ini akan menghilangkan kedekatan anak dengan orang tua. Hal ini bisa berpengaruh pada kesehatan fisik dan mental anak.
Dalam menjalankan jadual dan aturan, orang tua bisa bertindak sebagai pendamping anak, motivator, dan pengawas yang baik. Orang tua juga harus tahu bahwa anak juga minta dipahami. Anak minta dipahami bahwa anak juga mempunyai rasa capai, rasa jenuh, dan diberi kebebasan menjalankan aturan tanpa disuruh orang tua.
Sediakan fasilitas yang memadai sehingga anak bisa belajar dengan nyaman. Jika anak membutuhkan meja dan kursi khusus untuk belajar, sediakan fasilitas itu. Fasilitas tidak perlu mahal, yang penting adalah anak merasa mendapat dukungan penuh dari orang tua ketika belajar.
Ciptakan suasana yang kondusif pada saat anak belajar di rumah. Misalnya ketika anak sedang belajar, kita juga melakukan kegiatan yang sama. Kegiatan yang bisa kita lakukan adalah membaca buku, menulis, melakukan kegiatan yang kita sukai. Buat suasana sehingga anak merasa senang belajar. Jangan sekali-kali orang tua menonton TV manakala anak-anak sedang belajar. Hal ini akan membuat anak brerpikiran, “Enak sekali orang tuaku ya, aku sungguh-sungguh belajar tetapi mereka malah menonton TV.” Perasaan ini akan melemahkan semangat belajar anak, sehingga lama-kelamaan anak menjadi malas belajar dan tertarik dengan acara TV yang ditonton orang tua.
Buatlah diri kita jadi contoh yang baik buat anak-anak dalam perkataan, tingkah laku, disiplin, dan semangat dalam mempelajari sesuatu.
Berilah penghargaan kepada anak bukan karena hasil yang anak capai. Berilah penghargaan atas usaha yang dilakukan anak, berapapun hasil nilai yang dicapai anak. Penghargaan bisa kita berikan dalam bentuk senyuman, pujian, belaian,dan lain-lain. Katakan bahwa anda senang dengan usaha yang telah dilakukan anak, sekecil apapun usaha yang dilakukan anak. Beri anak semangat untuk terus berusaha.
Menghadapi Anak dengan Tingkat Kemampuan Berbeda
Kita biarkan anak dengan kemampuan tinggi kita bereksplorasi mencari cara jawaban pemecahan soal secara mandiri. Kemandirian dalam menjawab soal ini akan membuat rasa bangga dan menambah rasa percaya diri mereka. Proses belajar mereka harus tetap kita awasi agar tidak menyimpang dari tujuan semula. Ketika anak sudah mulai tidak fokus terhadap pelajaran, kita arahkan mereka agar fokus belajar lagi.
Bagi anak yang berkemampuan kurang, kita dampingi mereka dalam belajar. Mendampingi disini tidak dimaksudkan untuk duduk disamping mereka terus-menerus. Kita tetap mengambil jarak dengan mereka. Sesekali kita dekati anak-anak berkemampuan kurang dengan memberi bantuan dengan stimulasi berpikir. Bantuan hanya diberikan ketika mereka meminta bantuan kita. Kita biarkan mereka berpikir sendiri dan kita beri batas waktu tertentu. Batasan waktu akan membuat anak berpikir kreatif lebih kreatif.
Saya tekankan kepada anak yang berkemampuan tinggi untuk selalu mau membantu dan membagi ilmu kepada teman-temannya yang lain. Saya meminta kepada anak berkemampuan tinggi agar mau membagi ilmu kepada teman yang membutuhkan bantuan. Saya mengatakan bahwa anak yang mau berbagi pasti akan semakin pintar. Dengan membagi ilmu kita akan semakin paham dan mendapat pahala. Saya mendorong anak yang berkemampuan kurang agar jangan merasa malu untuk bertanya kepada yang lebih pintar.
Pengaruh Sikap Belajar Pada Pola Interaksi Dalam Keluarga
Semakin hari, Budi semakin menunjukkan sikap belajar yang baik. Budi sekarang menjadi tekun belajar, daya nalar Budi berkembang baik, dan sangat mudah untuk diajak membayangkan/berimajinasi ketika memecahkan persoalan. Sikap Budi yang temperamental perlahan-lahan tergantikan dengan sikap riang dan suka bercanda. Budi sudah mulai patuh kepada orang tua dan bersikap lebih baik terhadap saudara kandungnya. Suasana rumah Budi sekarang jauh lebih nyaman.
Permasalahan pada bidang pelajaran merupakan fenomena puncak gunung es. Yang terlihat hanyalah kesulitan belajar, jika ditelusuri lebih lanjut akan terdapat banyak permasalahan yang dihadapi anak. Rentetan masalah yang dihadapi anak yang bermasalah dalam belajar diantaranya adalah pola interaksi dengan orang tua, pola makan anak, pola belajar anak, sikap anak terhadap guru di sekolah, sosialisasi anak di sekolah, dan saya yakin masih banyak permasalahan lain yang dihadapi anak tersebut.
Bagus... Artikel yang sangat bermanfaat, bolehkah saya ijin copas??
BalasHapusMonggo
BalasHapus